Teater Palagan dan Kisah Desanya
Teater Bunyi pentaskan �Dunia dari Suara Kami�
warga yang ikut siskamling.
Dan akhirnya dua pemuda itu mengaku perbuatannya, mengintip janda kaya. Aksi warga yang sedang siskamling ingin menghakimi dua pemuda itu terhalang oleh kedatangan seorang hansip. Dua pemuda itu diamankan hansip. Warga kecewa karena tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dua pemuda seberang itu. Kemudian ditanya maksud dan tujuan mereka di rumah janda oleh hansip.�Kami mau mengintip janda, kang hansip,� sahut pemuda itu.�Lain ngajak urang ngintip janda mah,� kata hansip. Penonton dan warga siskamling tertawa sambil ngedumel, �ngeduluin ronda ngintip jandanya.�Tidak lama kemudian terdengar suara adzan shubuh. Warga siskamling pulang ke rumah masing-masing. Pemuda Palembang dan hansip pun lenyap. Lalu terdengar suara ayam berkokok dari salah satu pemain yang berperan sebagai warga yang sedang siskamling.
Alkisah, waktu di kampung itu sudah pagi hari. Sebuah keluarga petani diperankan oelh sepasang pemain dengan menggunakan bahasa Jawa. Adegan ini pun tak kalah lucunya bagi penonton, karena memang cara berujar pemainnya yang lucu.
Kreativitas imajinasi mereka menjelaskan keterangan waktu, pagi hari, divisualkan dengan adegan siaran radio dari berbagai jenis berita dan program radionya. Kantor berita Radio Palagan misalnya, menyiarkan berita ekonomi seputar harga kebutuhan sayur-sayuran dan kebutuhan pokok lainnya. Radio Palagan yang lain, masing-masing memberitakan informasi politik, informasi olahraga, juga radio anak muda dengan sajian program request lagu dengan sms (sort messege servise). Masuk lagi kemudian tukang perabotan dapur. Tukang perabot rumah tangga ini menawarkan sebuah coet dengan harga 45 ribu rupiah. Pemain yang berperan sebagai warga terkejut dengan harga itu, karena biasanya tidak lebih dari 5 ribu rupiah. Lalu dengan santai pedagang itu menjelaskan harga coet semahal itu, �Ini bukan coet biasa, Bu. Coet ini harganya 45 ribu rupiah karena ada emasnya.� Penonton pun tertawa lagi.
Tukang sayur juga sama, menawarkan harga sayur dengan harga tinggi. Kondisi harga kebutuhan pokok yang mahal ini menjadi bahan gunjingan para ibu-ibu di kapung Palagan. Adegan dilanjutkan dengan munculnya seorang pemuda yang muncul di pentas dengan membaca sebuah puisi. Kemudian bertemu kawannya di jalan dan berkumpul di warung kopi.�Pesan kopi, kopinya jangan terlalu manis, karena yang bikinnya udah manis,� ujar pemuda kepada kawannya. Di warung itu mereka berbincang-bincang tentang banyak hal. Topik pembicaraan utamanya adalah Hari Ulang Tahun kampong Palagan yang ke-20. Lalu, soal pendidikan sekolah yang mahal. Warga kampung Palagan mengeluhkan biaya sekolah anak-anaknya yang mahal. Karena mahalnya ada anak yang sudah berumur dua puluh tahun belum sekolah. Kemudian dijelaskan perihal dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada warga yanga ada di warung itu. Namun tiap kali juru penerang menjelaskan soal pendidikan, warag yang ada di warung mengeluarkan suara rebut sehingga tidak terdengar penjelasan perihal pentingnya pendidikan bagi masyarakat.
Pertunjukan teater yang diperankan oleh anak-anak penyandang cacat dari Yayasan Wyataguna, Bandung, membuat penonton yang hadir di auditorium Center Culturel France (CCF) Bandung tertawa dan haru sekaligus malam itu. Menyaksikan permainan drama tanpa alur cerita yang dibawakan oleh mereka. Pertunjukan itu merupakan representasi kreativitas masyarakat tuna netra dalam sebuah kelompok yang diberi nama Teater Palagan.
Pertunjukan perdana itu disutradarai oleh Bobteguh. Pertunjukan ini menitikberatkan pada unsur bunyi sebagai media transformasi visual. Mereka menamakan pertunjukan itu sebagai �peristiwa suara�� yang dihasilkan dari proses latihan teater dan improvisasi masing-masing pemain. Bunyi adalah media komunikasi pemain-pemain Teater Palagan yang tergolong berkemampuan khusus itu. Bloking pemain pun statis, bermain di masing-masing area berakting sesuai dengan kelompok perannya. Meski demikian, permainan teater mereka dapat ditangkap dan diapresiasi dengan baik oleh penonton. Walaupun bahasa yang mereka gunakan dominan berbahasa Sunda.
Pertunjukan teater yang berlangsung selama 40 menit ini mementaskan kehidupan masyarakat desa yang khas dengan persoalan hidupnya seputar harga beras, biaya pendidikan yang mahal, rumor tentang janda baru, dan kehidupan petani lainnya. Sehingga, kesan yang ditimbulkan dari permainan akting mereka adalah keakraban dan sederhana. Pertunjukan yang diberi judul �Dunia dari Suara Kami� ini secara ekplisit adalah sebuah gambaran kehidupan manusia dari pandangan masyarakat dengan kemampuan khusus. Bahwa sebuah kehidupan manusia yang reka untuk kebutuhan seni pentas dapat diwujudkan melalui kreativitas masyarakat berkemampuan khusus ini.
Pentas teater ditutup dengan adegan pembacaan sajak dari seorang gadis yang isinya adalah doa bagi masyarakat akan peningkatan harkat dan maratabat kemanusiaan manusia Indonesia. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung Jurnas Minggu).